Nama lengkapnya adalah Abu Shalih Sayyidi ‘Abdul Qadir ibn Musa ibn
‘Abdullah ibn Yahya az-Zahid ibn Muhammad ibn Dawud ibn Musa al-Jun ibn
‘Abdullah al-Mahdhi ibn al-Hasan al-Mutsanna ibn al-Hasan ibn Ali ibn Abi
Thalib. Beliau yang terkenal dengan nama 'Abdul Qadir jaelanj ini lahir pada tahun 470 H, lalu
wafat tahun 561 H dan dimakamkan di Baghdad. Banyak orang yang secara khusus
mengarang kitab tentang perjalanan hidupnya. Di sini kami akan menampilkan petikan
dari sejarah hidup (manaqib)-nya, dengan maksud semoga menjadi pelajaran
sekaligus suri teladan bagi para pembaca. Semoga Allah Swt memberikan taufiq-Nya
untuk kita.
Beliau (‘Abdul Qédir Jaelani) berkata, “Al-Husain al-Hallaj pernah
tersesat jalan, namun tidak ada seorang pun yang mau peduli dengannya pada
waktu itu. Padahal aku, terhadap siapa pun yang tersesat jalan, baik dia itu
dari sahabatku, maupun murid-muridku atau para pecintaku, pastilah selalu
menolongnya. Kudaku selalu terkekang, panahku selalu terbentang, dan pedangku
senantiasa terhunus dalam rangka menolong mereka. Aku pasti akan selalu
menolong dan menjaga mereka, walau tanpa mereka sadari.
Ibunda ‘Abdul Qadir al-Jaeléni pernah bercerita, “Semenjak aku
'; melahirkan anakku itu, ’Abdu] Qadir,
ia lidak pernah menetek pada 1: siang bulan Ramadhan. Sualu kali, lamaran hari
berawan, orang-orang tidak bisa melihat bulan sabit guna menentukan telah
masuk-nya bulan Ramadhan. Lalu mereka mendatangiku dan bertanya tentang "
Abdul Qédir karena mereka tahu bahwa anakku itu tidak pernah menetek di siang
bulan Ramadhan. Aku katakan kepada mereka bahwa ’Abdu Qédir siang itu tidak
menetek. Maka mereka pun tahu bahwa hari itu adalah awal bulan Ramadhan. Sejak
itu, 1a menjadi terkenal sebagai keturunan orang-orang terhormat (mulia), yang
salah satu tandanya adalah bahwa ia tidak mau menetek kepada ibunya pada siang
bulan Ramadhan.”
Beliau selalu berpakaian khas ulama, berselendang (sorban),
menunggang keledai, berbicara di atas kursi yang tinggi. Terkadang ia berjalan
beberapa langkah di udara di alas kepala orang-orang yang hadir, lalu kembali
ke kursinya. Ia pernah berkata: Aku pernah melewati hari-hariku tanpa makan
sama sekali. Ketika itu datang sese~ orang rnembawa sebuah wadah yang ternyata
berisi sejumlah dirham dan makanan di atasnya. Aku pun mengambil sekerat
roti,1alu duduk menyantapnya. Namun, tiba-tiba di hadapanku ada secarik kertas
yang bertuliskan, “Allah Swt“ mengatakan di dalam sebagian Kitab yang
diturunkan-Nya bahwa ‘nafsu makan itu hanya dijadikan bagi makhluk-makhluk-Ku
yang lemah agar mereka sanggup ( bertenaga) untuk melaksanakan ketaatan
kepada-Ku. Sedangkan bagi mereka yang kuat, maka nafsu makan itu lidak perlu
bagi moreka'.” Membaca tulisan itu, aku segera meninggalkan makanan itu lantas
pergi.”
Ia juga berkata; Aku pernah memikul beban yang sangat berat. Beban
itu begitu berat, sehingga andaikan ia ditaruh di atas gunung, pastilah gunung
itu akan ambruk karena tak kuasa memikul beban itu. Namun setiap kali aku
memikul beban berat, terlebih dahulu aku bersimpuh di atas ranah lalu membaca:
Qs.Al-Insyirah
5 – 6
Kemudian
barulah aku mulai mengangkat benda itu, dan ternyata beban yang begitu berat
itu menjadi enteng bagiku.
Suatu kali ia bercerita tentang dirinya: Pada awal-awal kehidupanku,
aku mengalami masa-masa sulit, namun aku hadapi dengan tabah. Kala itu aku
berpakaian darl bulu binatang, bertutup kepala dengan kain jelek, dan berjalan
tanpa alas kaki di atas duri dan onak jalanan lainnya. Yang aku makan hanyalah
belalang, sisa-sisa sayuran dan daun - daun muda di pinggiran sungai. Aku suka
pura-pura tuli dan pura-pura gila kalau sedang berada di tengah-tengah manusia.
Masa-masa pahit itu berlangsung selama beberapa tahun hingga akhirnya Allah
mengubah keadaanku.”
Pernah ada orang bertanya kepadanya, “Bagaimana cara membebaskan
diri dari ’ujub (merasa bangga terhadap diri sendiri)?” Beliau menjawab,
“Pandanglah segala sesuatu sebagai pemberian Allah, ingatlah bahwa Dia-lah yang
memberikan raufiq kepada kita sehingga dapat melakukan kebaikan, dan buanglah
perasaan bahwa kita telah berbuat sesuatu. Kalau sudah demikian, niscaya kita
akan selamat dari penyakit tersebut.” Dan sewaktu ada yang mengatakan
kepadanya, "Mengapa kami tidak pernah melihat lalat hinggap di bajumu?”
Beliau menjawab, “(Memangnya) apakah yang mau diperambilnya dariku, sedang
manisan dunia dan madu Akhirat tidak ada padaku sedikit pun."
Suatu kali, terdengar suara jeritan seseorang dari dalarn kuburnya
dan suara itu mengganggu orang-orang yang lewat di sana. Lalu, orang-orang
melaporkan kejadian tersebut kepadanya. Beliau berkata, “Sungguh orang itu
pernah melihatku sekali. Sekarang, pastilah Allah merahmatinya lantaran pernah
melihatku itu." Sejak itu, tidak pernah lagi terdengar jeritannya.
Pernah suatu hari ia berwudhu, lalu air wudhunya itu jatuh membasahi
seekor burung pipit. Burung itu diperhatikannya terbang lalu terjatuh dan mati.
Melihat kejadian itu, beliau langsung mencuci bajunya lalu menjualnya, dan uang
hasil penjualan baju itu beliau sedekahkan seraya berkata, ”Burung itu mati
lantaran air wudhuku."
Di antara perkataannya yang lain, “Ya Tuhanku, bagaimana aku
menyerahkan rohku kepada-Mu, sedangkan segala sesualu adalah milik-Mu?”
Ia mengajar selama tiga belas tahun. Selama itu, ia mengajar banyak
cabang ilmu seperti tafsir, hadits, ilmu hadits, fiqih berikut
mazhab-mazhabnya, ushul fIqih, nahwu, dan lain-lain. Setelah Zuhur ia membaca
Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at-nya. Ia juga memberikan fatwa dengan mazhab
Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad ibn
Hanbal. Ulama-ulama di Iraq sangat kagum terhadap fatwa - fatwanya, sampai mereka berkata,
“Mahasuci Dzat Yang telah “ memberi nikrnat kepadanya.”
Sebuah pertanyaan pernah diajukan kepadanya tentang seseorang yang
mengaku melihat Allah dengan mata telanjangnya, maka beliau memanggil orang itu
lalu bertanya kepadanya, "Benarkah yang disampaikan orang tentang dirimu,
bahwa kamu mengaku mellhat Allah dengan mata telanjangmu?” Ia menjawab, “Ya,
benar." Maka orang itu dibentaknya dan disuruhnya untuk tidak lagi mengatakan
seperti itu. Kemudian, orang-orang yang hadir bertanya kepada beliau, “Apakah
pengakuan seperti itu benar?" Beliau jawab, "Dia benar, tapi juga
meragukan. Sebab, ketika la telah berhasil melihat "cahaya keindahan Tuhan"
dengan pandangan batinnya (bashirah), timbullah pantulan cahaya ilu pada
pandangan lahirnya ( bashar), sehingga pandangan lahirnya itu mampu melihat
pandangan batinnya yang sedang memandang cahaya keindahan Tuhan. Nah, pada saat
itu, ia mengira bahwa pandangan lahirnyalah yang telah melihatnya, padahal,
tanpa ia sadari, yang melihat itu sebenarnya adalah pandangan batinnya, bukan
pandangan lahirnya. Allah Swt berfirman,
“Dia mengalirkan dualaut(asin dan tawar) secara berdampingan, antara keduanya
ada batas yang tidak dapat dilampaui oleh masing-masingnya." (QS.
ar-Rahman [55]: 19-20) Mendengar jawaban itu, para syekh dan ulama-ulama besar
yang ikut mendengarkan jawaban itu menjadi kagum dan salut kepadanya lantaran
kefasihan bicara dan keluasan ilrnunya.
Beliau pernah berkala, “Pada suatu hari, aku perhatikan ada sebuah
cahaya di langit, lalu dari cahaya itu muncul sesosok makhluk. Lantas, makhluk
itu rnemanggilku dan berkata, ‘Wahai ‘Abdul Qadir, aku adalah tuhanmu; aku
telah menghalalkan bagimu segala yang haram.’ Aku jawab perkataan itu dengan
mengatakan, ’Pergilah engkau, wahai setan terkutuk!’ Cahaya itu pun lalu berubah
menjadi kegelapan dan sosok tersebut berubah menjadi asap. Setelah itu ia
berkata lagi kepadaku, ‘Wahai ’Abdul Qadir, oleh sebab pengetahuanmu tentang
Tuhan dan keluasan ilmumu tentang hukum-hukum-Nya, kamu telah selamat dari (
tipu daya )-ku. Sungguh sebelum ini aku telah menyesatkan sebanyak tujuh puluh
orang sepertimu dengan cara yang sama.’ Aku berkata, ’Bagi Allah-lah segala
karunia dan keutamaan.’ Orang-orang bertanya kepada beliau, "Bagaimana
Anda tahu bahwa dia itu adalah selan?” Beliau menjawab, “Sebab, ia mengatakan
bahwa ia telah menghalalkan bagiku segala yang diharamkan.
Padahal, Allah tidak akan menghalalkan yang haram bagi siapa
pun." Ditanyakan lagi kepada beliau, ”Bagaimana cara membedakan bahwa yang
datang kepada kita itu Tuhan atau setan?” Beliau menjawab, ”Tuhan tidak datang dengan mengaku-ngaku
sesuatu (seperti mengaku dirinya sebagai Tuhan dan telah menghalalkan yang
haram), tidak pergi karena satu sebab (seperti karena disuruh pergi), tidak
mengambil bentuk sesuatu atau seseorang, dan tidak pada waktu tertentu.
Sedangkan setan sebaliknya.”
Saat ditanya tentang cara memperoleh semangat (untuk beribadah)
beliau menjawab, “Caranya adalah dengan menelanjangi (membebaskan) diri dari
kecintaan terhadap dunia, mempertautkan jiwa hanya dengan Akhirat, menyatukan
kehendak hati dengan kehendak Tuhan, dan membersihkan batin dari ketergantungan
terhadap makhluk.” Saat ditanya tentang menangis, ia berkata, ”Menangislah kamu
karena Allah, menangislah karena jauh dari-Nya dan menangislah untuk-Nya.” Saat
ditanya tentang dunia, ia berkata, ”Keluarkanlah ia dari dalam hatimu ke dalam
tanganmu! Dengan begitu ia tidak akan mencelakakanmu." Dan ketika ditanya
tentang syukur, ia berkata, "Hakekat syukur adalah mengakui dengan penuh
ketundukan terhadap nikrnat Si Pemberi nikmat, mempersaksikan karuniaNya, dan
memelihara kehormatan-Nya dengan menyadari sesungguhnya bahwa kita tidak akan
sanggup untuk bersyukur dalam artian yang sebenarnya."
Beliau berkata, ”Orang miskin yang sabar karena Allah menghadapi
kerniskinannya adalah lebih baik daripada orang kaya yang bersyukur kepada-Nya.
Orang miskin yang bersyukur adalah lebih baik dari kedua orang di atas.
Sedangkan orang miskin yang sabar dan bersyukur adalah lebih baik dari mereka
semua. Tidak ada yang sabar menjalani ujian kecuali orang yang tahu akan
hakekat ujian tersebut.”
Ketika ditanya tentang aI-baqa’ (keabadian), beliau menjawab, “Tidaklah
keabadian itu melainkan dengan perjumpaan dengan Tuhan, sedangkan perjumpaan
dengan Tuhan itu adalah seperti kedipan mata, atau lebih cepat dari itu. Di
antara ciri orang yang akan berjumpa dengan Tuhannya adalah tidak terdapat sesuatu
yang bersifat fana pada dirinya sama sekali. Sebab, keabadian dan fana adalah
dua sifat yang saling berlolak belakang.
Beliau pernah berkata, ”Makhluk adalah tabir penghalang bagi dirimu,
dan dirimu adalah tabir penghalang bagi Tuhanmu. Selama kamu melihat makhluk,
selama itu pula kamu tidak dapat melihat dirimu, dan selama kamu melihat
dirimu, selama itu pula kamu tidak dapat melihat Tuhanmu.”
Setelah nama Syekh ‘Abdul Qodir semakin terkenal dl seantero
negeri, berkumpullah seralus orang ulama di Baghdad; mereka bermaksud menguji
keluasan ilmunya. Setiap orang dari mereka telah mempersiapkan pertanyaannya
masing-masimg. Namun, ketlka beliau masuk ke dalam majelis mereka, mereka
melihat ada kilatan cahaya keluar dari dadanya. Cahaya itu melewati dada-dada
mereka salu persatu dan menghapus pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalamnya
yang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Mereka begitu tersentak dengan
kejadian itu, lalu buru-buru menanggalkan pakaian khas keulamaan mereka.
Setelah itu, barulah ia naik ke alas kursi dan mulal berbicara, yang dalam pembicaraannnya
itu, ia menjawab seluruh pertanyaan yang telah terhapus dari dada-dada mereka
yang belum sempat mereka sampaikan. Semua ulama yang hadir di majelis itu menjadi
tunduk dan mengakui keutamaan dan keluasan ilmunya.
Di antara akhlak beliau yang sangat mulia dan agung adalah, selalu
berada di samping orang-orang kecil dan para hamba sahaya untuk mengayomi
mereka. Beliau senantiasa bergaul dengan orang-orang miskin sembari membantu
membersihkan pakaian mereka. Beliau sama sekali tidak pernah mendekati para
pembesar atau para pembantu negara. Juga, sama sekali tidak pernah mendekati
pintu rumah seorang menteri atau raja.
Singkatnya, jejak-jejak mulia hidup beliau begitu banyak dan tak
terhingga. Begitu banyaknya, sehingga kita tak sanggup mengungkapkan
keseluruhannya. Semoga Allah meridhainya, dan meridhai para wali dan
orang-orang shaleh. Dan karena kecintaan kita terhadap mereka, semoga Allah
merahmati kita serta menggabungkan kita bersama mereka semua.
Sumber : kitab Al- Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq Azza wa Jalla.